Minggu, 02 Oktober 2011

Tentang Usi

Pernahkah kau melihat ada suatu daerah di peta satelit yang hanya berupa titik merah di hutan belantara? Itulah desaku.Mungkin itu sedikit yang menggambarkan keadaan tempatku tinggal di tahun 90-an. Akses jalan menuju desa terjal berbatu, kendaraan yang ada baru truk besar pengangkut kayu dari hutan, belum ada listrik, fasilitas kesehatan dan pendidikan pun masih minim. Di subuh hari sangat ramai orang-orang berlalu lalang hendak ke sawah, ke ladang atau ke hutan mencari rezeki Allah yang bertebaran alami di muka bumi. Sungguh mereka pergi setiap hari seiring dengan berkokoknya ayam yang seakan ikut menyemangati. Itulah desaku Desa Buniara Kecamatan Tanjungsiang yang terletak di ujung selatan Kabupaten Subang. 

Pada tahun 1988 dua insan yang kampungnya hanya terpisah sungai mengucap janji suci pernikahan. Tanpa pesta pora, tanpa kemeriahan, hanya ijab kabul yang khidmat dan syukuran sekedarnya dengan mengundang kerabat dekat saja (katanya). Merekalah kedua orang tuaku. Tetapi aku tak meragukan kebenaran hal itu karena tak pernah kulihat foto keduanya saat melangsungkan pernikahan karena pada saat itu kata ibuku memang tak mengundang juru foto. Yang ada hanyalah dua buku nikah dengan pasfoto masing-masing. Tapi menurutku justru itu yang paling penting, bahkan lebih penting dari sebuah foto pernikahan. Sekali lagi boleh kubilang sepasang buku nikah itu berkali lipat lebih sakti dan lebih berharga dari puluhan album foto pernikahan. 

Setahun berselang, ketika adzan Subuh berkumandang pada tanggal 1 Oktober 1989 ibuku melahirkan seorang bayi perempuan mungil dengan berat kurang dari 2 kg dengan susah payah. Dialah aku, yang lahir dengan diterangi lampu petromak berbahan bakar spirtus (alat penerangan paling canggih yang kami punya kala itu) berteriak menangis di tangan “paraji” atau dukun beranak. Saat itu belum ada bidan desa, puskesmas pun lumayan jauh sekitar 3 km dari desa, rumah sakit lebih jauh lagi, sekitar 30 km jauhnya sementara kendaraan umum belum ada sama sekali. Lagipula saat itu mustahil ada bidan atau dokter yang mau bertugas di desa kami, mengingat desa kami yang letaknya di tengah hutan dan jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Kelahiranku sangat disambut ramai oleh seluruh keluarga terutama keluarga dari bapak. Bapak adalah anak kedua dari 7 bersaudara, saat itu adik bapak belum menikah semuanya, nenek dan kakek pun sedang kangen menimang cucu karena anak dari Uwak (kakak bapak) sudah besar semua. Jadilah aku dibawa pulang pergi menyebrangi jembatan gantung reyot yang membentang di antara sungai yang memisahkan rumahku dan rumah nenek dari bapak setiap hari sejak umurku 2 bulan. 

Ibu tidak mau serumah dengan mertuanya, karena prinsipnya rumah tangga itu terdiri dari Ayah, ibu, dan anak, tak ada tempat untuk yang lain. Beruntung saat itu kakek dari Ibu memberikan sebidang tanah dan rumah yang kami tinggali sampai saat ini. Keluargaku adalah keluarga besar, program KB yang dicanangkan pemerintah tidak berlaku bagi kami. Bapak 7 bersaudara, sementara Ibu 8 bersaudara. Dua bulan berselang sejak kelahiranku, nenek dari Ibuku melahirkan anak ke-8 seorang bayi perempuan juga. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami, Ibuku turut menjadi ibu susu dari bibiku. Ya, Ibu menyusui adiknya sendiri…hahaha (Love u Mom) Oh.. iya sampai lupa, aku lupa memperkenalkan diri. Bapak memberi nama NURSUSILAWATI padaku, gabungan dari bahasa Arab dan Sansekerta yang artinya cahaya perempuan yang memiliki kesopanan. Mungkin dia berharap anaknya ini menjadi perempuan yang berakhlak mulia, sopan, bermoral yang mampu menjadi penerang bagi kehidupan dunia yang kelam..Amiiin (mungkin karena saat itu belum ada listrik..hehe). 

Meski berawalan Nur, keluargaku punya panggilan lain terhadapku yaitu Usi. Yah… berlanjut sampai aku dewasa, semua orang yang dekat denganku memanggil dengan sebutan Usi, bagiku itu adalah panggilan sayang paling merdu yang ingin kudengar. Aku tak pernah mau dipanggil dengan nama selain nama itu. Ayah dan ibu selalu mengajarkanku bahasa yang sopan, bahasa ibu yang kupelajari pertama kali adalah bahasa sunda. Ketika aku berbicara sunda kasar yang kudapat dari teman-teman mainku, pasti ibu marah. Beda dengan ibu, jika ada yang bicara kasar padaku pasti aku menangis. Kadang aku menangis gara-gara hal sepele, seperti aku pernah menangis karena temanku menyebutku “maneh”. Kata itu memang kata ganti orang kedua dalam bahasa sunda, tapi tetap aku tak terima karena bagiku itu bahasa sunda kasar. Sekali Usi tetap Usi, saat itu aku tak suka orang lain menyebutku dengan kata ganti. Mau tidak mau, teman-temanku harus bicara bahasa sunda halus dan sopan ketika berbicara denganku kalau tidak ingin aku menangis… hahaha. Pada akhirnya, kebanyakan orang dekat yang berkomunikasi denganku berbicara dengan halus dan sopan, bukti doa yang dipanjatkan kedua orang tuaku melalui nama terkabul. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar